Minggu, 03 April 2011

Rehabilitasi Situ untuk Penanggulangan Banjir Dipertanyakan

                                                      oleh: Dr. Eng. Supriyanto, M.Si
                                                  Staf pengajar Departemen Fisika, FMIPA-UI


Pendahuluan
Kita hidup di bumi ini tidak sendirian. Di sekeliling kita terdapat banyak makhluk yang juga punya hak untuk eksis di muka bumi. Salah satu makhluk yang sangat dekat dengan kita adalah air. Ia ditakdirkan untuk menjadi sesuatu yang sangat urgen bagi hidup dan kehidupan kita. Karenanya, sangatlah pantas bila kita mau mencermati peran dan fungsinya serta menjaga siklus peredarannya agar tetap stabil dalam harmoni yang sempurna dengan alam.
Ketidakmengertian kita akan karakter air terutama bagaimana cara dia bergerak merembes atau meresap ke dalam tanah lewat pori-pori diantara butir-butir tanah, bisa jadi akan mengundang bencana alam yang sangat dahsyat seperti kejadian banjir di awal Februari 2007 di Jakarta. Bappenas memperkirakan potensi kerugian akibat banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya mencapai Rp 4,1 triliun.
Bencana itu sebenarnya dipicu oleh curah hujan yang cukup lebat selama 3 hari berturut-turut. Seharusnya, air hujan yang turun dari langit diberi jalan untuk masuk ke tanah secepatnya. Tapi apa mau dikata, di atas permukaan tanah telah berdiri banyak bangunan buatan manusia melewati batas keseimbangan. Ini berefek pada semakin mengecilnya kawasan terbuka hijau dimana air hujan bisa meresap ke tanah dengan leluasa. Sebaliknya, kawasan terbangun yang dibangun di wilayah Depok dan DKI Jakarta telah menutupi jalan-jalan air untuk meresap ke dalam tanah. Akibatnya, volume curah hujan yang pada saat itu mencapai rata-rata 235 mm tidak bisa masuk ke dalam tanah.
Kemanakah air itu bergerak? Cuma ada dua instruksi yang dipahami oleh air secara berurutan, yaitu pertama, meresap ke dalam tanah jika memungkinkan; atau kedua, bergerak di permukaan tanah menuju ke tempat yang lebih rendah.
Ketika berada di wilayah yang sebagian besar telah tertutup oleh bangunan, air tak punya cukup waktu dan tenaga untuk merembes ke bawah tanah, maka hanya tersisa satu pilihan baginya yaitu bergerak menuju ke tempat yang lebih rendah. Got, selokan, parit dan sungai adalah jalan-jalan utama aliran air hujan yang telah menjadi air permukaan. Namun karena jumlah dan daya tampung saluran air tadi sangat-sangat terbatas, apalagi jika harus berdesakan dengan sampah-sampah yang berakibat pada pendangkalan dan sumbatan pada saluran, maka dengan terpaksa air harus mengantri mengalir dan menggenangi bangunan-bangunan buatan manusia atau tumpah ruah memenuhi jalan-jalan raya. Kita menyebut fenomena ini dengan istilah banjir. Hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.
Ketika terjadi banjir, genangan air hanya bisa berdiam atau bergerak perlahan selama beberapa jam sampai beberapa hari hingga mendapat giliran melewati sungai. Disisi lain, danau maupun situ-situ yang dikira sebagian orang bisa menampung air hujan atau malah ada yang mengira bisa meresapkan air ke bawah tanah, ternyata sangat-sangat kewalahan menampung air bah. Bukankah pada hari-hari biasa ketika tidak hujan situ-situ itu tidak pernah meresapkan air ke bawah tanah sampai habis? Maka apalagi saat terjadi hujan lebat. Dan memang sebagian besar situ-situ yang tersebar di wilayah Bogor dan Depok tidak akan mampu menahan atau membendung limpahan air hujan yang jatuh di wilayah Bogor dan Depok.
Jadi air hujan tak punya pilihan lagi. Dia terpaksa harus mengalir ke dataran yang lebih rendah menuju Jakarta. Dan terjadilah banjir besar sebagaimana yang kita saksikan dan dirasakan perih oleh para korban. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang hingga 7 Februari 2007.

Pergerakan air di bawah tanah 
Dalam rangka memberikan pemahaman tentang perjalanan air hujan kepada masyarakat luas, tulisan ini sengaja dibuat dengan dilengkapi ilustrasi gambar-gambar yang semoga dapat mempermudah pemahaman para pembaca. Sebuah gambar diyakini mampu mewakili ribuan kata-kata.
Mari kita mulai dari gambar yang satu ini. Gambar ini memperlihat sebidang tanah alami yang permukaannya ditumbuhi rerumputan dan sebatang pohon besar.
 

Ketika turun hujan, air hujan mulai membasahi permukaan tanah,

Tanah yang alami dengan tetumbuhan di atasnya menyediakan pori-pori, rongga-rongga dan celah tanah bagi air hujan sehingga air hujan bisa leluasa merembes atau meresap ke dalam tanah. Air itu akan turun hingga kedalaman beberapa puluh meter.
 
Air yang berhasil meresap ke bawah tanah akan terus bergerak ke bawah sampai dia mencapai lapisan tanah atau batuan yang jarak antar butirannya sangat-sangat sempit yang tidak memungkinkan bagi air untuk melewatinya. Ini adalah lapisan yang bersifat impermeabel. Lapisan seperti ini disebut lapisan aquitard (gambar sebelah kanan bersifat impermeabel yang sulit diisi air, sementara yang kiri bersifat permeabel yang berisi air).
 
Karena air tak bisa lagi turun ke bawah, maka air tadi hanya bisa mengisi ruang di antara butiran batuan di atas lapisan aquitard.
 
Air yang datang kemudian akan menambah volume air yang mengisi rongga-rongga antar butiran dan akan tersimpan disana. Penambahan volume air akan berhenti seiring dengan berhentinya hujan.
 
Air yang tersimpan di bawah tanah itu disebut air tanah. Sementara air yang tidak bisa diserap dan berada di permukaan tanah disebut air permukaan. Dalam suatu laporan disebutkan bahwa dalam kondisi pasca hujan, wilayah bogor mampu menyerap air hujan hingga 60% dari total curah hujan. Sementara wilayah Jakarta hanya mampu menyerap 20% saja. Lalu kemana sisanya? Tentunya jadi air permukaan yang menjelma menjadi banjir.
Kembali lagi ke ilustrasi gambar, permukaan air tanah disebut water table, sementara lapisan tanah yang terisi air tanah disebut zona saturasi air.
 
Permukaan zona saturasi — yang tak lain adalah water table tersebut — selalu mengikuti bentuk topografi atau lekuk-lekuk permukaan bumi.
Ada hal kecil yang mungkin anda belum menyadarinya selama ini. Kita sejak kecil diajarkan bahwa sumber air sungai berasal dari mata air yang terdapat di pegunungan atau dataran tinggi. Coba amati sekali lagi gambar di atas. Bukankah anda lihat di gambar itu kalau permukaan air sungai bersesuaian dengan permukaan water table? dan bukankah water table itu terkoneksi dalam satu sistem dengan water table pada dataran di kiri dan kanan sungai? Jawabannya adalah Ya. Lalu apa artinya? Itu berarti air sungai tidak hanya berasal dari mata air pegunungan, melainkan ia juga disuplai dari water table pada dataran tinggi akibat tekanan hidrostatik. Yaitu suatu tekanan yang muncul akibat perbedaan ketinggian permukaan water table di sungai dan di daratan.
 
Posisi permukaan water table di tiap musim 
Pada musim kemarau, permukaan water table akan turun hingga beberapa meter, mengakibatkan sumur-sumur penduduk menjadi kering dan sungai-sungai menjadi dangkal dan akhirnya kering. Sungai yang kering tidak lain sebagai akibat dari permukaan water table yang tidak lagi mencapai badan sungai. Melainkan sudah berada di bawah badan sungai.
 
Sementara itu, pada musim penghujan, permukaan water table meninggi, mengisi sumur-sumur penduduk dan bahkan bisa meluapkan sungai-sungai.
 
Logika yang kita dapat 
Seandainya di permukaan tanah masih banyak lahan terbuka yang ditumbuhi tanaman, maka air hujan akan sangat mudah meresap ke bawah tanah dan meninggikan water table. Kalau boleh disebut tangki air, maka berdasarkan model di atas yang bertindak sebagai tangki air adalah kawasan dataran tinggi di kiri-kanan aliran sungai. Kawasan inilah yang sangat potensial  meresapkan air. Sementara sungai-sungai berperan sebagai jalan tol yang mempercepat perjalanan air menuju dataran rendah. Hampir tak ada peresapan air di sepanjang aliran sungai. Jadi air hujan akan cepat meresap ke dalam tanah jika dan hanya jika ia jatuh di kawasan  terbuka hijau.
Akan tetapi apabila permukaan tanah telah penuh sesak dengan bangunan bikinan manusia termasuk sarana jalan raya, maka porsi curah air hujan akan lebih banyak menjadi air permukaan yang akan segera menuju jalan tol (baca=sungai) lalu bergerak ke tempat yang lebih rendah dalam jumlah yang teramat besar. 

Penutup: apakah sungai dan danau/situ dapat meresapkan air? 
Kalau kita perhatikan dengan teliti, permukaan water table di aliran sungai selalu lebih rendah dibandingkan dengan permukaan water table di kiri-kanan sungai. Hal yang sama terjadi pula di lingkungan danau, telaga maupun situ-situ. Alih-alih untuk meresapkan air ke bawah tanah, justru pada kenyataannya, sering dijumpai pada lingkungan danau atau telaga atau situ  sumber-sumber mata air yang menandakan air keluar dari bawah tanah akibat tekanan hidrostatik. Secara hidrologi, rasanya sulit sekali untuk membuktikan adanya daerah resapan air di sungai dan danau/situ.
Jadi kalau ada anggapan, sebagaimana tertulis dalam harian Republika, bahwa dengan proyek sebesar Rp 17.8 milyar akan mampu mengubah fungsi danau atau situ yang semula sebagai daerah mata air atau sumber air atau hanya tampungan air, dan ingin direhabilitasi sehingga mampu meresapkan air, saya kira anggapan semacam ini bertentangan dengan tanda-tanda alam sebagaimana uraian di atas. Walaupun tidak menutup adanya kemungkinan yang teramat sangat kecil terjadinya resapan air di lingkungan danau/situ. Tapi justru pertanyaannya, kenapa demi kemungkinan yang sangat kecil itu dana Rp 17.8 milyar bisa mudah mengucur? Ada apa dibalik ini semua?

 * sumber :http://taman.blogsome.com/2007/04/03/air-tanah/ * 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar